Korps Marechaussee te Voet, di Indonesia dikenal sebagai Marsose, adalah satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda oleh KNIL (tentara kolonial) sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilya di Aceh. Korps ini tidak ada ikatan dengan Koninklijke Marechaussee di Belanda.
Marsose ditugaskan di Hindia Belanda, antara lain dalam pertempuran melawan Sisingamangaraja XII di Sumatera Utara, yang pada tahun 1907 berhasil mengalahkan dan menewaskan Sisingamangaraja XII. Pada Perang Aceh, Marsose dapat menguasai pegunungan dan hutan rimba raya di Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan Aceh.
Sejak perlawanan gerilya dilancarkan pejuang Aceh, Belanda tidak mempunyai kontrol atas situasi di Aceh, terlebih ketika sistem lini konsentrasi diterapkan. Awal upaya tentara Belanda untuk mengatasi aksi gerilya baru diadakan pada masa lini konsentrasi.
Pada 30 Oktober 1889 dibentuk 2 detasemen “pengawal mobil” untuk melakukan patroli di sepanjang lini. Satu detasemen ditempatkan di Keutapang Dua dipimpin oleh Letnan Satu I. M. van de Ende, dan satu detasemen ditempatkan di Lam Peuneurut dipimpin oleh Letnan Dua M. Neelmeyer. Kedua detasemen ini merupakan cikal bakal Korps Marechaussee yang dibentuk 6 bulan kemudian.
Sementara itu, kehandalan kedua detasemen tersebut dan kegigihan gerilyawan Aceh melahirkan kekaguman dan inspirasi pada Mohamad Sjarif, komisaris di kantor Gubernur Sipil dan Militer Aceh, mantan jaksa di Kutaraja kelahiran Minangkabau. Mohamad Sjarif menyarankan kepada pemerintah Belanda supaya membentuk sebuah unit yang terdiri atas orang-orang yang gagah berani, mampu bertempur dan berkelahi sedemikian dekatnya dengan lawan hingga bisa menatap putih mata lawannya.
Gagasan tersebut disambut oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh dengan membentuk satu divisi kesatuan khusus bernama Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden (Korp Marsose Aceh dan daerah takluknya) pada 2 April 1890 dengan komandan yang pertama dijabat oleh Kapten G. G. J. Notten.
Di antara kesatuan-kesatuan KNIL lainnya, Marsose dikenal memiliki keunikan. Kata “marechaussee” sendiri berarti polisi militer. Tetapi, tugas unit ini bukan sebagai provost atau semacam dinas keamanan internal KNIL, melainkan sebagai unit tempur darat seperti kesatuan infantri lainnya.
Sebab, Marsose di bawah perintah langsung Gubernur Sipil dan Militer yang mempunyai kekuasaan kepolisian (sipil) dan militer.
Selain itu, struktur organisasi Marsose lebih ramping, hanya terdiri atas 4 tingkatan satuan. Namun, tingkatan dan urutan satuan pada masa itu berbeda dengan susunan organisasi militer pada masa kini.
Tingkatan satuan tertinggi adalah Korps, dipimpin seorang kolonel. Di bawahnya adalah Divisi, dipimpin oleh seorang kapten. Di bawah divisi adalah Kompi, dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua, atau satuan setingkatnya, Detasemen, yang dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua. Terakhir, tingkatan satuan terendah adalah Brigade, dipimpin oleh seorang bintara/sersan dengan jumlah anggota berkisar 10-12 orang (pada masa kini setara dengan regu).
Hingga tahun 1904, Korps Marechaussee memiliki 6 divisi yang tersebar di beberapa tempat di wilayah Aceh Besar. Setiap divisi terdiri atas 4 kompi, dan setiap kompi terdiri atas 4 brigade.
Keunikan lainnya adalah anggota Marsose merupakan orang-orang pilihan dari KNIL, dan sebagian besar adalah bumiputra.
Anggota dari kalangan bumiputra ini biasanya direkrut dari etnis di wilayah yang telah ditaklukkan oleh Belanda, misalnya Ambon, Menado, Jawa, Sunda, dan Timor.
Meskipun mayoritas anggota adalah kaum bumiputra, namun dalam sistem kepangkatan, KNIL mengikuti kebijakan penggolongan penduduk di Hindia Belanda yang diskriminatif.
Di Korps Marsose ini, bumiputera hanya dapat mengisi posisi bintara (sersan) dan tamtama (prajurit), sedangkan orang Belanda, Eropa dan Indo-belanda menempati posisi tamtama, bintara dan perwira. Meskipun demikian, suasana pergaulan antar anggota tidak menjadi diskriminatif secara ras, tetap hanya secara golongan kepangkatan.
0 komentar:
Post a Comment